terkadang hidup itu membosankan
jika tiap hari matahari terbit dari timur dan tenggelam di ufuk barat
terkadang juga hidup itu tak berwarna
jika ahir hari selalu ditutup dengan warna mega merah senja
usang...
ya... usang, kembali lagi dengan kata usang.
aku benar-benar tak mengerti, mengapa mereka tega melakukan ini,. syock mungkin iya dengan sekelimut kejahatan yang mereka lakukan. dengan pemeran utama dia dan obral mimpinya.
aku...?
hanya terjungkur dan letih hati.
saat kelabu mendekap dalam kalbu. bimbang, letih, sakit, sedih... mungkin mereka mengartikan GALAU, tapi semua itu mereka yang memulai.
mereka menciptakan, mereka tertawa dan mereka yang mengolok...
dan aku...???
mungkin penyakit ku kambuh lagi. "troumatitis B"
aku benci penyakit itu. yang awal mulanya sedari kata usang kemudian berjungkir menjadi kambuh...
huft.... dasar dunia merah menyakitkan.
aku benci dunia merahmu. yang kau tawarkan indah saat bersama tp.......
Rabu, 05 September 2012
Kamis, 17 Mei 2012
SUARA PETANG
awan putih mulai berkumpul ditiap sudut" dunia
langit biru seakan menatapku iba
lampu-lampu kebesaran kota mulai menyala
dan aku, aku msih saja enggan untuk tertawa
kau lalu yang mengingkari
kau dulu yang berjanji
ku yang menagih
bak depkoleptor tanpa serpihan pedang
mataharipun tlah lelah menemaniku menunggu
hingga petang tiba dan suara adzan berkumandang
aku hanya menatap keluh pikuh jalanan
berharap kau datang membalas janji
mega merah kini mulai berdatangan
tanda seruan senja
tlah mengibarkan sayap kuasanya
dan aku tuhan
masih berdiri dan menanti
bulanpu tersenyum sadis
kala mlihatku menangis
bintang seolah ingin menenangkanku
tapi hujan keburu menghampiriku
dengan susah payah
ku mencari aroma untuk menemuimu
menagih janji
yang kau selipkan di jari jemari
namun entahlah
hanya tangan hampa yang ku temui
kecewa... hmmm mungkin itu yang bisa ku katakan
langit biru seakan menatapku iba
lampu-lampu kebesaran kota mulai menyala
dan aku, aku msih saja enggan untuk tertawa
kau lalu yang mengingkari
kau dulu yang berjanji
ku yang menagih
bak depkoleptor tanpa serpihan pedang
mataharipun tlah lelah menemaniku menunggu
hingga petang tiba dan suara adzan berkumandang
aku hanya menatap keluh pikuh jalanan
berharap kau datang membalas janji
mega merah kini mulai berdatangan
tanda seruan senja
tlah mengibarkan sayap kuasanya
dan aku tuhan
masih berdiri dan menanti
bulanpu tersenyum sadis
kala mlihatku menangis
bintang seolah ingin menenangkanku
tapi hujan keburu menghampiriku
dengan susah payah
ku mencari aroma untuk menemuimu
menagih janji
yang kau selipkan di jari jemari
namun entahlah
hanya tangan hampa yang ku temui
kecewa... hmmm mungkin itu yang bisa ku katakan
Kamis, 10 Mei 2012
duniaku dan sunyiku
duniaku murung
saat kaki bulan tak lagi berpijak..
saat kaki bulan tak lagi berpijak..
saat sorot bintang tak lagi nampak
keramaian yang dulu ku jumpa,
sekarang tlah tiada
langit menangis tak ada sapa
awanpun mendung tak berguna
ku coba melangkah
mencari dunia yang lain
mencoba menari meski lelah
menghibur hati agar tak merasa sunyi
langkahku smakin gelap gelap dan gelap
kelam hingga jelang dunia tak berputar
kucoba robek jalan agar bercahaya
tapi tak ubahnya kucing
hanya bisa berlari dan pergi
hilang..hilang.. dan kelam
hanya aku, duniaku dan sunyiku
Senin, 07 Mei 2012
BAPAK NEGARA, DIMANA KAU?
aku masih saja pemulung liar
dan masih saja hidup tanpa jaminan
kolong jembatan jadi tempat persinggahan
dan sampah-sampah mungil jadi sumber makanan
katanyaku punya bapak negara,
tapi apa dia tak melihat?
atau dia tlah buta?
aku masih saja pengemis jalanan
dan hingga tua tetap meminta-minta
emperan toko jadi persinggahan
dan lampu-lampu merah jadi tempat cari makan
katanyaku punya bapak negara
tapi apa dia tak mendengar?
atau dia tlah tuli??
aku tetap saja pengamen bus kota
dan masih saja penyanyi recehan
pasar kuluh jadi sandaran
dan pintu-pintu bus jadi sumber pencaharian
katanya ku punya bapak negara
tapi apa dia tak merasa?
dimana kau bapak negar?
Senin, 30 April 2012
artikel_KTI
Seolah Termarginalkan
“Ilmu agamapun semakin teranak tirikan tatkala ilmu
pendidikan umum saja yang menjadi acuan kelulusan siswa. Disinilah peran Pendidik
Agama dipertaruhkan demi Eksistensi ilmu Pendidikan Agama”
UJian
Nasioanal atau yang biasa disingkat dengan UN, pada hakekatnya merupakan agenda
tahunan bagi siswa SD,SMP dan SMA. UN ditujukan sebagai standarisasi dan
evaluasi penigkatan mutu pendidikan. Disamping itu, UN juga ditujukan agar
adanya pemerataan antar daerah, untuk menghindari diskiriminasi dalam hal
kualitas pendidikan pelajar.
Sistem
pelaksanaan UN pun tiap tahunnya berbeda mulai dari satu paket, dua paket dan
baru-baru ini mencapai lima paket. Standar kelulusannya juga ikut meningkat.
Selain itu UN yang dulunya memakai tiga mata pelajaran yang diujikan yaitu Matematika,
Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggri, sekarang bertambah menjadi enam mata
pelajaran bagi Pelajar SMA dan sederajad, yaitu adanya penambahan mata pelajaran Biologi, Fisika,
Kimia bagi pelajar jurusan Ipa dan Sosiolog, Geografi, Ekonomi bagi pelajar
jurusan Ips.
Namun
yang selalu menuai Kontrofersi adalah ketidak ikutsertaan Pendidikan Agama dalam mata pelajaran yang
diujikan. Mengingat Pendidikan Agama merupakan fondasi kuat untuk membentuk
mental dan moral Anak Bangsa. Tak hanya itu Pendidikan Agama juga berperan
penting dalam menciptakan akhlak yang baik bagi para generasi Bangsa dan paling
tidak menjauhkan dari perbuatan tercela dan tidak senonoh, seperti melakukan
korupsi yang saat ini semakin menjadi trend di Indonesia.
Dewanya Ilmu Pendidikan
Pendidikan Agama yang notabennya Pendidikan mendasar bagi
anak didik ayalnya telah termarginalkan dari peradaban Pendidikan formal.
Terlihat dengan ketidak aktifan siswa dalam mengikuti pelajaran Agama di
sekolah dan lebih mementingkan mata pelajaran yang diujikan dalam UN dari pada Pelajaran Agama. Padahal disadari
atau tidak pembentukan jati diri moral suatu bangsa terletak pada Pendidikan
Agamanya.
Pendidikan Agama pun tiap tahunnya mengalami degradasi,
mulai dari minat siswa sampai pengimplikasian dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi
saat ini yang menjadi Dewa Pendidikan adalah Ilmu Pengetahuan Umum, dalam arti
lain Ilmu Pengetahuan yang di ujikan dalam UN. Hal ini semakin membuat Pendidikan
Agama tak ada daya jualnya.
Penentuan
kelulusan yang semakin dipersulit oleh kebijakan pemerintah, membuat Ilmu Pengetahuan umum smakin naik daun
dan smakin dianak emaskan dari pihak manapun, membuat Pendidikan Agama smakin
sempit sepak terjangnya dalam dunia pendidikan.
Solusi yang tak solutif
Untuk
mengantisipasi hal tersebut banyak yang mengemukakan agar Pendidikan Agama di
ikut sertakan dalam UN, mengingat kebobrokan bangsa semakin menjadi-jadi dan
pelanggaran norma smakin buming dinegri ini.
Di
sinyalir jika diadankannya kebijakan baru terkait Pendidikan Agama masuk dalam
UN akan sdikit menambah minat siswa untuk memperdalam pengetahuan Agama, dan
hasil ahirnya akan berimplikasi terhadap moral bangsa yang lebih baik. Selain
itu Pendidikan Agama dan umumpun akan serata drajadnya.
Namun
solusi itu hanyalah solusi pilihan yang tak solutif.
Pada dasarnya Pendidikan Agama adalah fondasi suatu moral bangsa yang mencetak karakter
kepribadian yang baik, bukan mencetak angka yang baik. Oleh sebab itu harus ada
perombakan dari sitem pendidikan agama dan disinilah peran pendidik Pendidikan
Agama dipertaruhkan demi eksistensi Ilmu Pendidikan Agama.
artikel
UN Sebagai acuan
kelulusan, pantaskah?
“Gonjang-ganjing Ujian Nasional (UN) telah menjadi
polemik moral yang tak terselesaikan. Tak ayal bila kebijakan baru dirindukan demi terciptanya
system yang kondusif”
Ujian Nasional
(UN) adalah sistem evaluasi standar Pendidikan
Dasar dan Menengah secara Nasional, dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar Daerah
yang dilakukan oleh Pusat
Penilaian Pendidikan. UN merupakan agenda tahunan yang tak
tertinggalkan dalam kecaman bangku sekolah. Namun agenda rutin itu seakan tak
ada habisnya menuai kontrofersi, mulai dari sistem yang setiap tahunnya berubah-ubah
sampai pelaksanaan UN.
Setiap
tahun UN smakin membabi buta, tak sedikit korban yang telah termakan olehnya.
Standart kelulusan yang saat ini meningakat menjadi 5,5 membuat para pelajar
khawatir dengan hasil yang dicapainya. Apalagi dengan lima paket yang seakan
menyudutkan para pelajar mengakibatkan banyaknya terjadi kecurangan-kecurangan
yang dilakukan baik pihak siswa atau pun guru. Keberadaan tangan jahil pun ikut
berperan dalam melakukan kecurangang-kecurangan tersebut Seperti pembobolan
soal ujian, atau bahkan pembobolan kunci jawaban. Selain itu kebijakan
pemerintah yang mengembalikan layak lulus atau tidaknya siswa kepada pihak
sekolahan, menambah kecurangan menegemen pendidkan dengan mengatrol nilai siswa
didiknya supaya mencapai rata-rata. Melihat fenomena diatas masihkah UN pantas
sebagai acuan penentuan kelulusan?
Pembobrokan
moral
UN yang disinyalir sebagai peningkatan mutu pendidikan
bangsa ternyata hanya isapan jempol saja. Tebukti adanya UN hanya menambah
polemik bangsa. Pembobrokan moralpun ikut andil dalam meramaikan polimik
tersebut. Bagaimana tidak? Mengingat kelulusan yang utama dan pertama mengakibatkan
sejumlah oknum melakukan hal-hal yang tak sesuai norma.
Tidak
hanya itu nilai tingkat kelulusan yang tiap tahun dinaikan, dengan harapan dapat
dicapai dengan maksimal, kenyataannya justru terbalik angka kelulusan siswa
semakin buruk, semakin banyak sisawa-siswi yang tidak lulus, dampaknya banyak yang
histeris karena tidak lulus, ada rasa menyesal, malu bahkan nekat bunuh diri.
Inilah
yang menjadi kecambuk bangsa, dimana sistem yang sebenarnya mengangkat eksistensi
pendidikan bangsa dan mencetak generasi cerdas intelektul tak ubahnya dijadikan
alat pemboborokan moral bangsa.
Jangan
sebagai acuan utana
Sekali
lagi UN hanyalah momok menakutkan bagi siswa/siswi kelas tiga SMP maupun SMA.
Beban yang dipikul pelajar jenjang pendidikan pada kelas tiga ini sangat berat.
untuk mencapainya, mereka harus belajar dengan keras.
UN
yang pada dasarnya sebagai acuan kelulusan diclame tidak efektif dalam
menjalankan perannya, terlihat berbagai fakta yang memperkuat harus adanya sistem
kebijakan baru mengenai standart kelulusan, karena tidak adil pula perjalanan
sekolah selama tiga tahun hanya dihisab dengan hitungan menit. Tidak hanya itu
untuk memperbaiki system yang ada, pihak sekolah yang telah diberi wewenang
untuk meluluskan siswanya atau tidak, dihimbau agar berlaku adil. Dalam hal ini, yaitu meluluskan
bagi yang patut diluluskan dan menidak luluskan yang patut untuk tidak lulus.
murah tak berarti kalah
MURAH TAK BERARTI
KALAH
Ahir
tahun pelajaran merupakan bombastis kegelisahan siswa, khususnya siswa yang
telah lulus sekolah menengah umum (SMU) yang notabennya adalah calon mahasiswa.
Seleksi memilah perguruan tinggi pun mulai dilakukan oleh calon mahasiswa
tersebut, terlihat ketika mereka antusias berdiskusi tentang pertguruan tinggi
yang berkualitas, browsing di internet atau bahkan datang langsung ke suatu
instansi perguruan tinggi.
Dewasa
ini banyak kalangan masyarakat yang berpemikiran bahwa yang mahal yang
berkualitas, dan yang bernama yang pantas, terbukti akan banyaknya sisiwa-siswi
yang mendaftar diperguruan tinggi mahal dan berlebel seperti UI, UNPAD,
TRISAKTI, UGM, UNDIP, UNNES dan lain sebagainya. Selain kualitas dan berlebel
ajang bergengsipun menjadi tawaran menggiurkan bagi mereka kalangan menengah
keatas, hingga tak ayal jika banyak yang mengatakan “lebih baik tidak dari pada
yang murah”. Momok pemikiran jawa yang mengatakan “ono rego ono rupo” seolah menjadi
pedoman kuat bagi mereka.
Terlebih
ketika subuah instansi tenaga kerja lebih percaya terhadap alumnus perguruan
tinggi berkualitas dan berlebel dalam kata lain adalah mahal ($), membuat calon
mahasiswa rela melakukan segala cara demi diterimanya di perguruan tinggi
tersebut.
Namun
pada dasarnya bukan saja yang di cap $ (mahal) yang berkualitas atau yang diclame
yang berlebel yang pantas, tapi perguruan tinggi murah pun juga tak kalah
kualitasnya, perguruan tinggi tak berlebel pun juga patut diperhitungkan
keberadaanya.
Kualitasnya
pun tak kalah jauh dari perguruan tinggi yang berlebel $, bahkan bisa dikatakan
seimbang, terbukti dengan prestasi-prestasi yang diraih oleh perguruan tinggi
tak berlebel $. Dan tak sedikit alumnus-alumnusnya yang menjadi pemuka negara.
Apalagi saat ini yang menentukan layak atau tidaknya seseorang bekerja disebuah
instansi bukanlah kualitas kampus dan lebelnya melainkan kemampuan otak dan
kecerdasannya. Jadi sungsang jika dikatakan yang berlebel $ yang berkualitas
dan pantas, karena perguruan tinggi murahpun juga tak kalah bila dibanding
dengan perguruan tinggi berlebekan $.
Langganan:
Postingan (Atom)