Senin, 30 April 2012

artikel_KTI


Seolah Termarginalkan
“Ilmu agamapun semakin teranak tirikan tatkala ilmu pendidikan umum saja yang menjadi acuan kelulusan siswa. Disinilah peran Pendidik Agama dipertaruhkan demi Eksistensi ilmu Pendidikan Agama”

UJian Nasioanal atau yang biasa disingkat dengan UN, pada hakekatnya merupakan agenda tahunan bagi siswa SD,SMP dan SMA. UN ditujukan sebagai standarisasi dan evaluasi penigkatan mutu pendidikan. Disamping itu, UN juga ditujukan agar adanya pemerataan antar daerah, untuk menghindari diskiriminasi dalam hal kualitas pendidikan pelajar.
Sistem pelaksanaan UN pun tiap tahunnya berbeda mulai dari satu paket, dua paket dan baru-baru ini mencapai lima paket. Standar kelulusannya juga ikut meningkat. Selain itu UN yang dulunya memakai tiga mata pelajaran yang diujikan yaitu Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggri, sekarang bertambah menjadi enam mata pelajaran bagi Pelajar SMA dan sederajad, yaitu  adanya penambahan mata pelajaran Biologi, Fisika, Kimia bagi pelajar jurusan Ipa dan Sosiolog, Geografi, Ekonomi bagi pelajar jurusan Ips.
Namun yang selalu menuai Kontrofersi adalah ketidak ikutsertaan  Pendidikan Agama dalam mata pelajaran yang diujikan. Mengingat Pendidikan Agama merupakan fondasi kuat untuk membentuk mental dan moral Anak Bangsa. Tak hanya itu Pendidikan Agama juga berperan penting dalam menciptakan akhlak yang baik bagi para generasi Bangsa dan paling tidak menjauhkan dari perbuatan tercela dan tidak senonoh, seperti melakukan korupsi yang saat ini semakin menjadi trend di Indonesia.

Dewanya Ilmu Pendidikan
            Pendidikan Agama yang notabennya Pendidikan mendasar bagi anak didik ayalnya telah termarginalkan dari peradaban Pendidikan formal. Terlihat dengan ketidak aktifan siswa dalam mengikuti pelajaran Agama di sekolah dan lebih mementingkan mata pelajaran yang diujikan dalam UN  dari pada Pelajaran Agama. Padahal disadari atau tidak pembentukan jati diri moral suatu bangsa terletak pada Pendidikan Agamanya.
            Pendidikan Agama pun tiap tahunnya mengalami degradasi, mulai dari minat siswa sampai pengimplikasian dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi saat ini yang menjadi Dewa Pendidikan adalah Ilmu Pengetahuan Umum, dalam arti lain Ilmu Pengetahuan yang di ujikan dalam UN. Hal ini semakin membuat Pendidikan Agama tak ada daya jualnya.
Penentuan kelulusan yang semakin dipersulit oleh kebijakan pemerintah,  membuat Ilmu Pengetahuan umum smakin naik daun dan smakin dianak emaskan dari pihak manapun, membuat Pendidikan Agama smakin sempit sepak terjangnya dalam dunia pendidikan.

Solusi yang tak solutif
Untuk mengantisipasi hal tersebut banyak yang mengemukakan agar Pendidikan Agama di ikut sertakan dalam UN, mengingat kebobrokan bangsa semakin menjadi-jadi dan pelanggaran norma smakin buming dinegri ini.
Di sinyalir jika diadankannya kebijakan baru terkait Pendidikan Agama masuk dalam UN akan sdikit menambah minat siswa untuk memperdalam pengetahuan Agama, dan hasil ahirnya akan berimplikasi terhadap moral bangsa yang lebih baik. Selain itu Pendidikan Agama dan umumpun akan serata drajadnya.
Namun solusi itu hanyalah solusi pilihan yang tak solutif. Pada dasarnya Pendidikan Agama adalah fondasi suatu moral bangsa yang mencetak karakter kepribadian yang baik, bukan mencetak angka yang baik. Oleh sebab itu harus ada perombakan dari sitem pendidikan agama dan disinilah peran pendidik Pendidikan Agama dipertaruhkan demi eksistensi Ilmu Pendidikan Agama.

artikel


UN Sebagai acuan kelulusan, pantaskah?
“Gonjang-ganjing Ujian Nasional (UN) telah menjadi polemik moral yang tak terselesaikan. Tak ayal bila  kebijakan baru dirindukan demi terciptanya system yang kondusif”
Ujian Nasional (UN) adalah sistem evaluasi standar Pendidikan Dasar dan Menengah secara Nasional, dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar Daerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan. UN merupakan agenda tahunan yang tak tertinggalkan dalam kecaman bangku sekolah. Namun agenda rutin itu seakan tak ada habisnya menuai kontrofersi, mulai dari sistem yang setiap tahunnya berubah-ubah sampai pelaksanaan UN.
Setiap tahun UN smakin membabi buta, tak sedikit korban yang telah termakan olehnya. Standart kelulusan yang saat ini meningakat menjadi 5,5 membuat para pelajar khawatir dengan hasil yang dicapainya. Apalagi dengan lima paket yang seakan menyudutkan para pelajar mengakibatkan banyaknya terjadi kecurangan-kecurangan yang dilakukan baik pihak siswa atau pun guru. Keberadaan tangan jahil pun ikut berperan dalam melakukan kecurangang-kecurangan tersebut Seperti pembobolan soal ujian, atau bahkan pembobolan kunci jawaban. Selain itu kebijakan pemerintah yang mengembalikan layak lulus atau tidaknya siswa kepada pihak sekolahan, menambah kecurangan menegemen pendidkan dengan mengatrol nilai siswa didiknya supaya mencapai rata-rata. Melihat fenomena diatas masihkah UN pantas sebagai acuan penentuan kelulusan?
Pembobrokan moral
            UN yang disinyalir sebagai peningkatan mutu pendidikan bangsa ternyata hanya isapan jempol saja. Tebukti adanya UN hanya menambah polemik bangsa. Pembobrokan moralpun ikut andil dalam meramaikan polimik tersebut. Bagaimana tidak? Mengingat kelulusan yang utama dan pertama mengakibatkan sejumlah oknum melakukan hal-hal yang tak sesuai norma.
Tidak hanya itu nilai tingkat kelulusan yang tiap tahun dinaikan, dengan harapan dapat dicapai dengan maksimal, kenyataannya justru terbalik angka kelulusan siswa semakin buruk, semakin banyak sisawa-siswi yang tidak lulus, dampaknya banyak yang histeris karena tidak lulus, ada rasa menyesal, malu bahkan nekat bunuh diri.
Inilah yang menjadi kecambuk bangsa, dimana sistem yang sebenarnya mengangkat eksistensi pendidikan bangsa dan mencetak generasi cerdas intelektul tak ubahnya dijadikan alat pemboborokan moral bangsa.
Jangan sebagai acuan utana
Sekali lagi UN hanyalah momok menakutkan bagi siswa/siswi kelas tiga SMP maupun SMA. Beban yang dipikul pelajar jenjang pendidikan pada kelas tiga ini sangat berat. untuk mencapainya, mereka harus belajar dengan keras.
UN yang pada dasarnya sebagai acuan kelulusan diclame tidak efektif dalam menjalankan perannya, terlihat berbagai fakta yang memperkuat harus adanya sistem kebijakan baru mengenai standart kelulusan, karena tidak adil pula perjalanan sekolah selama tiga tahun hanya dihisab dengan hitungan menit. Tidak hanya itu untuk memperbaiki system yang ada, pihak sekolah yang telah diberi wewenang untuk meluluskan siswanya atau tidak, dihimbau agar  berlaku adil. Dalam hal ini, yaitu meluluskan bagi yang patut diluluskan dan menidak luluskan yang patut untuk tidak lulus.

           


murah tak berarti kalah


MURAH TAK BERARTI KALAH
Ahir tahun pelajaran merupakan bombastis kegelisahan siswa, khususnya siswa yang telah lulus sekolah menengah umum (SMU) yang notabennya adalah calon mahasiswa. Seleksi memilah perguruan tinggi pun mulai dilakukan oleh calon mahasiswa tersebut, terlihat ketika mereka antusias berdiskusi tentang pertguruan tinggi yang berkualitas, browsing di internet atau bahkan datang langsung ke suatu instansi perguruan tinggi.
Dewasa ini banyak kalangan masyarakat yang berpemikiran bahwa yang mahal yang berkualitas, dan yang bernama yang pantas, terbukti akan banyaknya sisiwa-siswi yang mendaftar diperguruan tinggi mahal dan berlebel seperti UI, UNPAD, TRISAKTI, UGM, UNDIP, UNNES dan lain sebagainya. Selain kualitas dan berlebel ajang bergengsipun menjadi tawaran menggiurkan bagi mereka kalangan menengah keatas, hingga tak ayal jika banyak yang mengatakan “lebih baik tidak dari pada yang murah”. Momok pemikiran jawa yang mengatakan “ono rego ono rupo” seolah menjadi pedoman kuat bagi mereka.
Terlebih ketika subuah instansi tenaga kerja lebih percaya terhadap alumnus perguruan tinggi berkualitas dan berlebel dalam kata lain adalah mahal ($), membuat calon mahasiswa rela melakukan segala cara demi diterimanya di perguruan tinggi tersebut.
Namun pada dasarnya bukan saja yang di cap $ (mahal) yang berkualitas atau yang diclame yang berlebel yang pantas, tapi perguruan tinggi murah pun juga tak kalah kualitasnya, perguruan tinggi tak berlebel pun juga patut diperhitungkan keberadaanya.
Kualitasnya pun tak kalah jauh dari perguruan tinggi yang berlebel $, bahkan bisa dikatakan seimbang, terbukti dengan prestasi-prestasi yang diraih oleh perguruan tinggi tak berlebel $. Dan tak sedikit alumnus-alumnusnya yang menjadi pemuka negara. Apalagi saat ini yang menentukan layak atau tidaknya seseorang bekerja disebuah instansi bukanlah kualitas kampus dan lebelnya melainkan kemampuan otak dan kecerdasannya. Jadi sungsang jika dikatakan yang berlebel $ yang berkualitas dan pantas, karena perguruan tinggi murahpun juga tak kalah bila dibanding dengan perguruan tinggi berlebekan $.