Lagi-lagi gadis itu berlari menuju di penepian senja, seperti biasa,
bukan lagi kali pertama ia berteriak “kembali, Kembalilah”. Terhitung sejak 136
hari yang lalu, ia selalu melakukannya setiap sore tiba. Ombak menantang, tak
pula ia takut, bahkan ia berlari mengarahnya, membasahi tubuhnya dengan air
laut yang sudah pasti asin rasanya.
Senja oh senja, mungkin kaulah saksi bisu akan keanehan prilaku gadis
itu tiap sore tiba, mungkin juga hanya kau saksi bisu 136 hari yang lalu
tentang peristiwa yang menimpa gadis itu.
“kembali, kembalilah”. Kata itu lagi-lagi keluar dari bibir gadis
itu. “cepat kembalilah”. sambungnya yang disambut obak besar menghantam
tubuhnya, hingga ia terseret ke tengah pantai. “ahh kembalilah!”.
Nampak kelihatan lelah pada wajah yang sebenarnya manis, namun
terlihat lusuh, mungkin akibat ia terlalu lelah berucap kembali dan kembalilah,
atau mungkin ya cukup mungkin.
Senjapun mulai meninggalkan gadis itu, melihat senja pergi, Nampak kekesalan yang amat memuncak dari raut gadis itu. Entah apa dalam pikirnya, mungkin dia tak ingin senja itu berlalu. Atau mingking… ya lagi-lagi hanya sekedar mungkin.
Lalu tanpa mengucap sepatah kata pun, termasuk pada tukang parkir di
pantai itu, gadis itu berlalu meninggalkan senja yang sekarang berubah menjadi
malam. Entah senja yang meninggalkan gadis itu atau malam yang yang merebut
senja dari gadis itu. Hanya raut wajah memberi tanda akan kejadian diwaktu
senja itu. Dan lagi-lagi hanya kemungkinan-kemungkinan yang terlihat dari wajah
gadis yang mungkin manis jika ia tersenyum.